Sabtu, 15 Februari 2014

Tak kan tertukar....

Kali nih baru dapet rentetan  makna yang matahin semua.

Dari dulu yang ku takutin tuh
ketika
cape cape namem...
cape cape mupuk ......
Cape cape nyiram....
Dan apa yang terjadi diakhir?
DIPANEN ama orang
:'(
                Dan rumus angin membuka mata hati dan fikiran........
Kemungkinan  benih
yang kau tanam terbang
Lalu ia terjaga disuatu tempat
Dan diwaktu yang tepat pula
Allah mengizinkanmu menuainya
Melebihi apa yang kau jaga
Apa yang kau rawat selama ini...
Ingatlah.... apa yang kau tanam kan kau tuai sendiri hanya untukmu
Dihari yang tepat
Pastinya
Bersabarlah atas janjiNya
*Bunga dibulan Februari
Rima Febrianti

Selasa, 11 Februari 2014

Sepotong hati yang baru

Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan,
berusaha memutus suasana canggung lima
menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”
Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.
“Apa kau baik-baik saja,” Alysa balik bertanya
pelan.
Aku tertawa getir. Menggeleng.
Diam sejenak. Sungguh hatiku tidak baik-baik
saja.
Bulan purnama menggantung di angkasa.
Senyap? Sebenarnya tidak juga. Suara debur
ombak menghantam cadas di bawah sana
terdengar berirama. Tetapi pembicaraan ini
membuat sepi banyak hal. Hatiku. Mungkin juga
hati Alysa. Rumah makan yang terletak persis di
jurang pantai eksotis ini tidak ramai. Hanya
terlihat satu dua pengunjung, membawa keluarga
mereka makan malam. Bukan musim liburan,
jadi sepi. Kami duduk berhadapan di meja paling
pinggir. Menyimak selimut gelap lautan di
kejauhan.
“Maafkan aku.” Alysa menggigit bibir. Tertunduk
lagi.
Aku menatap wajahnya lamat-lamat.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah
berlalu. Tertinggal jauh di belakang.” Aku
menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—aku
tahu itu bohong, pura-pura bijaksana.
Hening lagi sejenak.
”Sungguh maafkan aku,” Alysa menyeka sudut-
sudut matanya, ”Aku tidak pernah tahu akan
seperti ini jadinya.”
Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf,
meskipun seharusnya kau tahu, sehari setelah
kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk
hatiku agar tegar, tetapi percuma. Menyakitkan.
Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin
benar, ada seseorang dalam hidupmu yang
ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong
hatimu. Alysa, kau pergi. Dan
kau bahkan membawa lebih dari separuh
hatiku.”
Ombak menghantam cadas semakin kencang.
Bulan purnama di atas sana membuat lautan
malam ini pasang. Lautan yang kosong
sepanjang mata memandang, menyisakan kerlip
kapal nelayan atau entahlah di kejauahan.
Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar memainkan
sendok-garpu.
“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu
menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat
semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah
mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya aku
tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak
pernah baik-baik saja. Enam bulan berlalu,
hanya berkutat mengenangmu. Mendendang
lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku
patah-hati. Hidupku jalan di tempat.”
“Maafkan aku.” Suara Alysa bahkan kalah
dengan desau angin, matanya mulai basah
menahan tangis.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku
mendongak keluar, menatap purnama. Berusaha
mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti
hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian
kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, “Kau
tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya
saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan
pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang
hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu
sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku
memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati
yang benar-benar baru.”
Hening lagi sejenak.
Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-
ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu masih
tersisa namaku?”
***
Setahun silam. Di tempat yang sama.
Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku
mengeluarkan kotak cincin batu bulan itu.
“Aku tahu ini bukan permata.” Tersenyum,
“Hanya cincin sederhana, berhiaskan batu bulan ,
simbol tanggal kelahiranmu. Apakah kau suka?”
Alysa mengangguk-angguk. Tersenyum amat
lebarnya. Menjulurkan tangannya. Dia mencoba
memasangkan cincin tersebut. Sumringah
menatap wajahku,
“Itu akan menjadi cincin pernikahan kita.”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau
selama sebulan terakhir merencanakan banyak
hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka
yang indah. Malam itu, menatap wajahnya,
kalimat itu meluncur begitu saja.
Alysa menatapku. Matanya membulat. Mukanya
memerah. Tersenyum. Kemudian tersipu
mengangguk. Sungguh, malam itu berubah
seperti ada seribu kembang api yang meluncur
menghias angkasa. Hatiku menyala oleh rasa
bahagia. Keramaian rumah makan tepi jurang
lautan terasa bingar, orang-orang yang
menghabiskan makanan di atas meja.
Malam itu. Setahun silam.
Dan semua mulai dikerjakan. Keluarga saling
bertemu, tanggal pernikahan ditentukan, kartu
undangan disebar, hal-hal kecil diselesaikan,
semua berjalan begitu lancar.
Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film.
Yang ketika pasangan itu siap menikah beberapa
hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa
bertemu dengan seseorang—biasanya seseorang
itu calon mempelai perempuan. Seseorang yang
terlihat begitu sempurna. Seseorang yang
mengambil segalanya. Ketika kalian menonton
film itu, bahkan kalian tega membela perasaan
yang baru muncul di hati jagoan wanitanya.
Tega berharap agar pernikahan itu tidak jadi.
Berharap calon mempelai perempuan berhasil
mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul,
amat memesona itu. Berharap cinta hebat yang
tumbuh mendadak yang menang, membenarkan
alasan si calon mempelai perempuan. Akui
sajalah, kita selalu membela cinta model ini.
Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari
sebelum kami menikah, Alysa bertemu dengan
pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang
mengesankan. Aku tidak peduli di mana, kapan,
dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak peduli.
Sama tidak pedulinya siapa sesungguhnya
pemuda itu. Yang pasti dia meremukkan seluruh
kenangan indahku bersama Alysa.
Menghancurkan kedekatan kami , keluarga kami,
dan sebagainya dengan lima hari pertemuan. Ya
Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini
terjadi?
Sungguh lelucon cinta yang tidak lucu.
”Maafkan aku.” Alysa berkata pelan, ”Aku, aku
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa
melanjutkan rencana pernikahan kami, Alysa juga
tidak tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana
besar, jika tidak baginya, tapi setidaknya bagi
dua keluarga yang sudah menyiapkan banyak
hal.
”Aku, aku mencintainya.” Alysa menghela nafas,
”Kau tahu, akan terasa, akan terasa menyakitkan
kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku
mencintainya.”
Ya Tuhan? Dia mencintainya hanya dengan
pertemuan lima hari?
”Maafkan aku….” Suara Alysa bergetar, ”Kau
tahu, itu seperti cinta pertama pada pandangan
pertama. Aku, aku pikir semua rencana
pernikahan kita keliru.”
Debur ombak menghantam cadas terdengar
bagai lagu penuh kesedihan. Bukan, bukan
karena semua ini tidak aku mengerti yang
membuatku sakit hati. Bukan karena tiba-tiba,
bukan kenapa harus terjadi lima hari sebelum
pernikahan kami. Aku juga tidak mampu
membenci pria itu. Apa salahnya? Aku tahu,
selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam
perjalanan cinta. Tetapi lebih karena, lihatlah,
percakapan ini, aku tahu persis, separuh hatiku
akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk
hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua.
Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.
Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja.
Pakaian pengantin dikembalikan, gedung yang
disewa dibatalkan, katering yang disiapkan
diurungkan. Menyisakan pertanyaan-pertanyaan
teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu
semua. Itu sungguh masa-masa yang sulit.
“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan Alysa
pergi malam itu. Di tempat yang sama ketika
aku memperlihatkan cincin batu bulan itu
kepadanya.
***
Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan,
berusaha memutus suasana canggung lima
menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”
Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.
Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian
menggantung di langit-langit rumah makan.
Malam pertemuan kesekian kalinya aku dengan
Alysa, malam ini, malam sekarang.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih
tersisa namaku.” Alysa ragu-ragu bertanya lagi,
dengan suara yang semakin pelan dan semakin
cemas.
Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.
Ombak semakin kencang menghantam cadas.
Berdebur.
Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun
berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Susah-
payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu
menelusuk di malam-malam senyap. Alysa
mendadak kembali. Meneleponku dengan suara
tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku
harus menemuinya. Semua itu sudah selesai.
Bangunan hubungan kami sudah hancur
berkeping-keping, bahkan jejak pondasinya pun
tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam.
Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat
pertama kali aku mengenalnya. Di tempat dia
membatalkan begitu saja rencana pernikahan
kami. Di tempat kenangan kami
Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau.
Matanya sembab, wajahnya sendu. Dan terisak
perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa
menceritakan banyak hal. Meski lebih banyak
menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap
melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut
menangis. Bergegas berusaha menghiburnya,
melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa
saja.
Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah
lautan. Menyerahkan sapu-tangan. Lantas diam.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa
harapkan?
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu,
aku sudah bersumpah untuk menguburnya
dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan
pernah kuasa melupakan. Malam ini saat Alysa
bilang hubungan hebatnya dengan pria
memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Apa aku harus senang?
Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini
semua sungguh menyakitkan.
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa
namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti
bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan
begitu saja. Itu menurut pengakuannya. Apa
yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama
tidak tahunya kenapa dia dulu tiba-tiba merasa
begitu jatuh cinta dan tega membatalkan
pernikahan kami. Itu bukan urusanku.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih
tersisa namaku.” Suara Alysa kalah oleh desau
angin. Tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat
itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan
pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang
hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu
sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku
memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati
yang benar-benar baru.”
Alysa memberanikan diri mengangkat wajahnya,
cemas mendengar intonasi suaraku.
“Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan
dengan seseorang yang amat aku cintai, aku
inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa
memberikanku sepotong hati yang baru.
Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan
kami, batu giok. ” Aku menelan ludah.
Hening sejenak. Alysa mematung.
Aku mengangkat bahu.
Alysa menyeka ujung-ujung matanya.
Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol
batu tanggal kelahiranku. Malam ini semua
sungguh terasa menyesakkan. Gadis itu
beringsut berdiri dari tempat duduknya, beranjak
pergi. Aku menatap punggungnya hilang dari
balik pintu rumah makan.
Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap
selimut gelap lautan. Melepas cincin itu. Ini
bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikku–yang
juga menyukai batu giok. Ada gunanya juga
memutuskan mengenakan cincin ini sebelum
bertemu dengan Alysa. Aku belum menikah. Aku
selalu mengharapkan kau kembali. Selalu.
Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu
pertama kau pergi aku tega berharap dan berdoa
Tuhan menakdirkan pria itu bernasib malang.
Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu,
mata sembabmu, semua cerita tidak masuk akal
itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar
soal memaafkan. Cinta bukan sekadar soal
menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri .
Cinta adalah rasionalitas sempurna.
Jika kau memahami cinta adalah
perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk
akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau
lambat, luka itu akan kembali menganga. Kau
dengan mudah membenarkan apapun yang
terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa memberikan
kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena
kau tidak mampu mengendalikan perasaan
tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.
Kenangan indah bersamamu akan kembali
memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu
benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan
membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan
hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit
hati ini menemani hari-hariku.
Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil
sempurna menumbuhkan hati yang baru,
memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri
sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati
tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.

Pekan terindah...

Februari 2010 SMT
Februari 2013 K@I
Semoga 2014 pun
menjadi hadiah terindah lagi....

Hingga saat tiba

Kali ini bener bener patah... :'(
Ya Allah cape....
Udahan aja lah
Tapi apa ya hikmahnya
Kuatkanlah aku....  :'(
Inginku bukan hanya jadi temanmu atau sekedar sahabatmu yang slalu dengar ceritamu... tak perlu kau tanyakan ketulusan ...